PEDANG KAYU HARUM : JILID-04
Tanpa terasa, apa lagi bagi yang mengalaminya sendiri, telah lima tahun lamanya Keng Hong hidup berdua dengan gurunya di puncak batu pedang. Dari seorang bocah berusia dua belas tahun, kini berusia tujuh belas tahun! Tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan dengan kulit yang segar dan putih kemerahan membayangkan kesehatan sempurna dan kekuatan mukjijat tersembunyi di dalam tubuhnya. Pakaiannya model sederhana, hanya kain polos berwarna kuning yang kasar, dibuat secara kasar pula. Warna kuning adalah warna kesukaannya.
Akan tetapi, selama lima tahun itu, kalau muridnya menjadi makin sehat dan kuat, adalah si guru semakin lemah dan tua. Kalau orang yang lima tahun lalu bertemu dengan Sin-jiu Kiam-ong kini melihatnya, tentu akan menjadi kaget. Kakek ini sudah kelihatan tua sekali, tubuhnya kurus kering dan hanya sepasang matanya saja yang kadang-kadang tampak berseri penuh semangat, itu pun hanya kalau dia sedang melatih muridnya.
Pada hari itu, sinar matahari sudah menembus awan tipis menerangi permukaan puncak batu pedang. Seperti biasa, Keng Hong bersila dan berlatih, memusatkan panca indera agar bisa menerima sinar matahari pagi yang mengandung daya kekuatan mukjijat untuk meningkatkan tenaga sinkang di tubuhnya. Seperti biasa pula, gurunya duduk bersila tak jauh dari tempat dia duduk.
"Keng Hong....!"
Suara gurunya merupakan satu-satunya suara yang sanggup menyadarkan Keng Hong setiap saat, karena selama lima tahun ini hanya suara gurunya inilah yang menjadi pusat perhatiannya. Dia cepat sadar dari latihannya dan membuka mata, memandang gurunya. Hati pemuda remaja ini berdebar.
Wajah gurunya tampak berbeda dari biasanya. Biar pun wajah itu masih membayangkan seri dan gembira, namun ada sesuatu yang menonjol, sesuatu pada wajah pucat dan kurus itu yang membuat jantungnya berdebar. Hari ini wajah gurunya bagaikan matahari tertutup awan tebal, suram-muram kehilangan cahayanya.
"Suhu memanggil teecu? Ada perintah apakah, Suhu?"
Sin-jiu Kiam-ong tersenyum sambil mengangkat lengannya yang kiri, gerakannya lemah ketika dia menggapai, "Mendekatlah, Keng Hong dan bersilalah di depanku sini, aku ingin bicara denganmu."
Keng Hong menjadi makin heran. Sikap gurunya ini pun tidak seperti biasanya. Tentu ada sesuatu yang amat penting. Ia cepat-cepat bangkit dan menghampiri suhu-nya, lalu duduk bersila di depan suhu-nya.
Karena baru sekali ini selama lima tahun dia berdekatan dengan gurunya dalam keadaan tidak sedang berlatih, maka dia mendapat kesempatan untuk memandang dengan penuh perhatian. Kini nyatalah olehnya betapa suhu-nya amat kurus, tinggal kulit membungkus tulang dan bahwa hanya oleh daya tahan yang luar biasa saja suhu-nya dapat bertahan selama ini. Ia kini sudah mengerti bahwa suhu-nya menderita luka-luka parah di sebelah dalam tubuh, luka yang akan merenggut nyawa setiap orang dalam waktu beberapa bulan saja. Namun suhu-nya dapat bertahan sampai lima tahun!
"Keng Hong, tahukah engkau sudah berapa lama kau berada di tempat ini?"
"Teecu tidak terlalu memperhatikan, akan tetapi kalau melihat dari banyaknya perubahan musim, tentu kurang lebih lima tahun."
"Benar, memang sudah lima tahun, muridku. Dan sudah cukup banyak kau belajar dariku. Sayang waktunya amat tergesa-gesa hingga terpaksa aku hanya memperbanyak latihan ginkang dan Iweekang kepadamu. Mengenai gerak cepatmu dan tenaga dalam, kurasa sudah cukup sebagai landasan dan aku tidak khawatir kau akan mudah terkalahkan oleh orang lain. Akan tetapi ilmu silatmu.... ahh…, tidak ada waktu bagi kita sehingga hanya dasar-dasarnya saja kau kuasai. Padahal ilmu silat di dunia ini amatlah banyaknya Keng Hong. Dan selain dasar-dasar ilmu silat tinggi, engkau baru menguasai ilmu silat dengan tangan kosong yang sederhana dan juga ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut belum kau kuasai seluruhnya. Hal inilah yang memberatkan hatiku, karena apa bila engkau bertemu dengan orang-orang sakti seperti sembilan orang tokoh yang pada lima tahun yang lalu menyerbu ke sini, apa lagi bertemu dengan Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding), kepandaianmu masih belum dapat diandalkan."
Keng Hong mengerutkan alisnya yang hitam panjang dan tebal. "Akan tetapi, Suhu, apa hubungannya kesaktian mereka dengan teecu? Suhu sudah tahu pendirian teecu, yaitu hendak belajar ilmu kepada suhu untuk memperkuat diri lahir bathin, ilmu dipelajari untuk menjaga diri dari pada serangan dari luar, baik itu serangan lahir mau pun batin. Teecu tidak ingin mencari musuh!"
"Ha-ha-ha, muridku, engkau masih hijau dan tidak mengenal watak manusia, juga belum mengenal watak dan dirimu pribadi. Tidak ada makhluk seserakah manusia. Bila mana engkau sudah turun ke dunia ramai, akan kau temui semua sepak terjang manusia yang membabi buta karena dorongan nafsu mereka sendiri. Kau tidak mencari musuh, namun engkau akan dimusuhi! Dan mau tidak mau engkau akan terseret dan terlibat ke dalam rantai yang tak kunjung putus, rantai pergulatan dan permusuhan antara manusia demi untuk memenangkan dan memuaskan hawa nafsu yang menguasai diri pribadi. Aku pun dahulu menjadi seorang di antara mereka yang menjadi abdi nafsuku sendiri, Keng Hong. Aku tidak pernah memusuhi orang, juga tak pernah mengandung maksud hati melakukan kejahatan terhadap diri orang lain. Akan tetapi, pengejaran ke arah pemuasan nafsuku membuat aku bentrok dengan lain orang, dan membuat aku dicap sebagai seorang tokoh sesat. Baru sekarang aku menyesal, namun apa gunanya sesal yang terlambat? Biarlah, akan kutanggung segala akibat dan hukuman. Dan aku minta kepadamu supaya engkau pun kelak akan berani mempertanggung jawabkan semua perbuatanmu! Jangan menjadi seorang manusia yang munafik, yang pura-pura alim. Kalau memang bersih, usahakan supaya bersih luar dalam. Kalau engkau tak kuasa menahan hasrat melakukan sesuatu, lakukanlah dengan dasar tidak merugikan orang lain dan berani bertanggung jawab atas segala akibat kelakuanmu itu. Hal ini berarti melakukan sesuatu dengan mata dan hati terbuka."
"Teecu mengerti, suhu."
"Nah, kuulangi lagi. Kepandaianmu masih jauh dari pada cukup untuk menghadapi lawan yang tangguh. Akan tetapi tiada waktu lagi bagiku." Ia menghela napas panjang. "Bu-tek Su-kwi benar-benar hebat. Sampai sekarang masih ada bekas tangan mereka. Rambut dan kuku Ang-bin Kwi-bo amat berbahaya, juga senjata tengkorak milik Pak-san Kwi-ong. Hudtim dan ilmu silat tangan kosong Pat-jiu Kiam-ong sukar dilawan pula. Apa lagi kalau kau bertemu dengan Lam-hai Sin-ni.... wah, sukar dikatakan atau diukur sampai di mana sekarang tingkat kepandaian wanita iblis itu! Kiranya engkau baru akan dapat menandingi mereka bila engkau sudah mempelajari semua kitab peninggalanku yang rahasia tempat persembunyiannya berada di dalam Siang-bhok-kiam ini, muridku."
Keng Hong memandang ke arah pedang di tangan suhu-nya itu dengan perasaan penuh heran. Mengertilah dia sekarang mengapa tokoh-tokoh sakti itu memperebutkan pedang kayu ini, kiranya merupakan kunci pembuka rahasia kitab-kitab pelajaran silat tinggi yang dahulu telah dikumpulkan oleh suhu-nya.
Sudah sering kali dia diperbolehkan mempergunakan Siang-bhok-kiam untuk berlatih ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut yang sengaja diciptakan gurunya untuk dia, akan tetapi tak pernah dia melihat sesuatu yang aneh pada pedang itu, kecuali huruf-huruf kecil yang terukir di dekat gagang pedang yang isinya merupakan ujar-ujar kuno.
"Apakah suhu menyuruh teecu untuk mempelajari kitab-kitab itu?" tanya Keng Hong untuk menyembunyikan ketegangan hatinya.
"Barang yang mudah didapat tidak akan dihargai, yang sukar didapat barulah berharga, Hong-ji. Kitab-kitab dan benda-benda yang terkumpul di dalam tempat rahasiaku itu juga baru akan berharga bagimu kalau kau mendapatkannya dengan sukar. Akan tetapi tidak hanya kesukaran menjadi syarat, namun terutama sekali jodoh! Apa bila engkau memang berjodoh dengan peninggalanku itu, tentu kelak akan bisa kau dapatkan. Boleh kau cari sendiri melalui Siang-bhok-kiam ini. Nah, kini kau terimalah Siang-bhok-kiam, pedang ini kuberikan kepadamu, muridku..."
Keng Hong terkejut dan memandang wajah gurunya dengan mata terbelalak. Dia belum menerima pedang yang diangsurkan kepadanya, malah bertanya meragu, "Akan tetapi... Suhu pernah bilang bahwa Siang-bhok-kiam seperti nyawa bagi suhu... bagaimana dapat diberikan kapada teecu...?"
"Ha-ha-ha, pedang ini milik siapa dan nyawa ini milik siapa? Kau terimalah sebagai tanda patuh kepada guru."
Keng Hong tidak berani membantah, kemudian menerima pedang Siang-bhok-kiam yang telanjang itu.
"Keng Hong, meski pusaka warisanku harus kau cari dengan dasar jodoh dan kesukaran, akan tetapi ada sesuatu yang dapat kuberikan kepadamu kecuali Siang-bhok-kiam, dan mudah-mudahan pemberianku ini akan dapat menjadi perisai bagimu menghadapi semua lawan tangguh. Selipkan Siang-bhok-kiam di pinggang dan mendekatlah."
Keng Hong segera menyelipkan pedang kayu di ikat pinggangnya, kemudian menggeser duduknya mendekati suhu-nya. Sin-jiu Kiam-ong mengangkat kedua tangannya, yang kiri dia taruh di atas ubun-ubun kepala Keng Hong, dan yang kanan diletakkan di punggung pemuda itu, baru kemudian dia berkata lirih,
"Pusatkan segala dan buka semua, Keng Hong, pergunakan sinkang-mu untuk membuka semua jalan darah, jangan pernah menentang sedikit pun juga, dan bantu dengan daya penyedot…"
"Suhu... suhu hendak..."
Keng Hong gelisah sebab dia sudah beberapa kali menerima bantuan hawa sinkang yang disalurkan oleh suhu-nya ke dalam tubuhnya, dan yang selalu mengakibatkan kelemahan tubuh suhu-nya sehingga akhirnya dia memohon agar suhu-nya tidak mengulangi hal itu. Kini suhu-nya hendak melakukannya lagi!
"Apakah dalam saat terakhir ini muridku hendak membantah perintah gurunya?"
Suara ini halus, namun penuh wibawa dan sekaligus memusnahkan niat hati Keng Hong hendak menentang. Dia terpaksa lalu bersila dan memusatkan perhatiannya, membuka semua jalan darah dan mengosongkan hawa di pusarnya untuk menerima saluran hawa sinkang dari gurunya.
Sebentar saja sudah terasa oleh Keng Hong betapa hawa yang sangat kuat menerobos masuk melalui kepala serta punggungnya, hawa yang sebentar hangat, lalu panas dan perlahan-lahan berubah dingin lalu panas kembali. Terasa pula olehnya betapa dari dirinya sendiri timbul semacam tenaga menyedot yang membuat aliran hawa sinkang itu makin lancar menerobos, berputaran di dalam pusarnya lantas buyar dan menyusup-nyusup ke seluruh bagian tubuhnya.
Hebat bukan main sinkang dari suhu-nya dan hampir dia tidak kuat menerimanya. Ada kalanya hawa yang memasuki tubuhnya sedemikian panasnya hampir tidak tertahankan, akan tetapi karena dia pun sudah bertahun-tahun berlatih, dia dapat melawannya dengan menyesuaikan diri melalui kekuatan kemauannya sehingga secara perlahan-lahan yang panas itu terasa hangat-hangat saja.
Entah berapa lamanya guru dan murid ini duduk tak bergerak. Keng Hong sendiri tidak tahu karena dia telah memusatkan seluruh perhatiannya ke dalam tubuh. Dia seolah-olah berada dalam keadaan mimpi atau pingsan. Baru dia sadar ketika merasa betapa hawa yang terasa seolah-olah air mancur memasuki tubuhnya melalui kepala dan punggung itu telah berhenti, dan betapa ubun-ubun dan punggungnya terasa dingin.
Keng Hong membuka mata, melihat suhu-nya masih bersila sambil memejamkan mata, bibirnya tersenyum membayangkan kepuasan. Akan tetapi ada sesuatu yang membuat Keng Hong cepat memegang kedua lengan suhu-nya yang tadinya masih terletak di atas ubun-ubun dan punggungnya.
Sepasang tangan suhu-nya terkulai lemas dan dingin. Suhu-nya telah menghembuskan napas terakhir, entah sudah berapa lamanya.
"Suhu...!!" Keng Hong meloncat bangun.
Melihat tubuh yang bersila itu kini kehilangan sandaran dan akan roboh, cepat-cepat dia menyangganya dan merebahkannya di atas permukaan batu. Sekali lagi dia memeriksa detak jantung dan napas. Tak terasa lagi! Suhu-nya sudah meninggal dunia karena dia! Karena ‘mengoper’ sinkang sampai kehabisan segala-galanya.
Tiba-tiba Keng Hong meraung, meloncat berdiri dengan muka merah sambil memandang kedua tangannya. Dia merasa seolah-olah dialah yang membunuh suhu-nya! Kenapa dia tadi begitu bodoh dan mau saja padahal ini akan membahayakan kesehatan suhu-nya?
Rasa duka, menyesal dan marah kepada diri sendiri membuat wajah pemuda itu menjadi merah dan beringas. Tiba-tiba dia memekik lagi dan tubuhnya mendadak melesat ke arah permukaan puncak batu pedang yang menonjol setinggi orang, tangannya menghantam.
"Pyarrrrr....!" Batu gunung yang keras itu hancur berantakan menjadi kepingan-kepingan kecil yang beterbangan ke sana sini!
Keng Hong berdiri dan ternganga heran. Memang dia sudah memiliki kekuatan sinkang yang tidak lemah, tapi kalau dia memukul batu, biasanya tentu hanya akan memecahkan bagian ujung saja. Akan tetapi sekali ini, dari tangannya keluar kekuatan yang sedemikian hebatnya sehingga batu yang menonjol setinggi orang itu hancur sama sekali sedangkan tangannya tidak merasakan nyeri sedikit pun juga!
Rasa girang, tercengang, kaget dan duka bercampur menjadi satu, membuat dia terharu sekali. Sinkang yang tadi telah disalurkan ke tubuhnya oleh gurunya ternyata membuat dia memiliki tenaga yang hebat, bahkan loncatannya juga sepuluh kali lebih cepat dari pada biasa.
Ginkang dan lweekang di tubuhnya sekaligus mendapat kemajuan yang amat luar biasa. Ia kembali melesat ke dekat suhu-nya kemudian menangis sambil memeluk mayat Sin-jiu Kiam-ong. Sesuai dengan pesan Sin-jiu Kiam-ong yang pernah dinyatakan kepadanya, Keng Hong mengangkat jenasah gurunya itu dan meletakkannya ke dalam gubuk kecil tempat gurunya beristirahat.
Kemudian, setelah menangisi mayat itu dan bersembahyang tanpa upacara karena tiada alat, memohon kepada Thian agar supaya dosa-dosa gurunya diperingan hukumannya dan arwah gurunya mendapatkan tempat yang baik, Keng Hong lalu membakar gubuk itu. Dengan hati penuh keharuan dia menjaga dan memandang api yang berkobar membakar gubuk berikut jenasah Sin-jiu Kiam-ong.
Oleh karena dia harus selalu menambah bahan bakar, pembakaran jenasah ini memakan waktu setengah hari lamanya. Kemudian, sesuai pula dengan pesan suhu-nya, dia lantas mengumpulkan abu jenasah dan pada malam hari itu, disaksikan laksaan bintang yang menghias langit biru, Keng Hong lalu menabur-naburkan abu itu dari puncak batu pedang. Angin bertiup dan membawa abu itu bertebaran ke segenap jurusan, seolah-olah Sin-jiu Kiam-ong benar-benar kini bersatu dengan alam di sekeliling tempat yang dicintanya itu.
Semalam suntuk Keng Hong duduk melamun, di samping terkenang pada suhu-nya juga memikirkan keadaan dirinya sendiri. Tadinya dia tak pernah memikirkan keadaan dirinya karena setiap hari segenap perhatiannya dia curahkan untuk belajar serta berlatih, dan selain itu ada gurunya di sampingnya yang membuat dia tidak merasa kesepian.
Akan tetapi sekarang, sesudah Sin-jiu Kiam-ong tidak ada lagi, bahkan bekas-bekasnya tidak ada lagi, dia mulai merasa dan melihat kenyataan bahwa dia sesungguhnya hanya seorang diri saja di dunia ini! Sesudah gurunya tidak ada, apa yang akan dilakukan? Ke mana dia akan pergi? Apa tujuan hidupnya selanjutnya? Kembali ke kampung halaman?
Dia masih ingat dengan kampung halamannya, dusun Kwi-bun di mana dia terlahir dan bermain-main sampai usia sepuluh tahun. Akan tetapi, mau apa dia kembali ke Kwi-bun? Keluarganya sudah terbasmi habis, rumah pun tidak ada, dan kembalinya ke sana hanya akan membongkar kenangan-kenangan lama yang sangat tidak menyenangkan hati.
Ke kuil Kun-lun-pai? Di sana banyak orang-orang yang baik hati, tosu-tosu yang selain baik dan ramah terhadapnya, seperti pernah dia alami sampai dua tahun lamanya. Akan tetapi dia teringat akan pesan Kiang Lojin kepada Sin-jiu Kiam-ong bahwa karena dia bukan ‘orang Kun-lun-pai’, maka dia tidak boleh tinggal di Kun-lun-pai, bahkan dia tidak diperkenankan tinggal di batu pedang yang berada di Kiam-kok-san kalau suhu-nya tidak ada!
Habis ke mana? Tetap tinggal di situ? Tidak mungkin! Dia bukan seorang yang nekat dan tidak tahu malu. Dia maklum bahwa gurunya dan dia adalah orang-orang yang ‘mondok’ karena Kiam-kok-san merupakan wilayah Kun-lun-pai. Dan bila mana tuan rumah tidak memperbolehkan tinggal di sana, dia pun tidak sudi memaksa. Akan tetapi kalau pergi, kemanakah?
Dalam bingungnya, Keng Hong teringat pada suhu-nya. Andai kata dia menjadi suhu-nya, apa yang akan dilakukannya? Suhu-nya adalah seorang yang selalu hidup gembira ria. Jangankan berduka, bingung dan takut pun tidak pernah dikenalnya. Teringatlah dia akan semua cerita suhu-nya tentang diri suhu-nya pada waktu muda. Masih terngiang-ngiang di telinganya ucapan yang keluar dari bibir tua yang masih tersenyum, wajah cerah dan mata berseri itu.
"Hidup satu kali di dunia, apa gunanya berkeluh kesah dan berhati susah? Kegembiraan dan kesenangan dapat dinikmati, tinggal meraih saja! Semua berkah dari Dia yang telah dilimpahkan untuk kita, mengapa mesti disia-siakan? Nikmatilah berkah itu!"
Keng Hong mulai berseri wajahnya. Sambil menengadah memandang bintang-bintang di langit, dia mengenang semua cerita suhu-nya dan mengenang kembali semua ucapan-ucapannya.
"Aku paling suka dengan keindahan. Tamasya alam yang indah, makanan lezat, semua bunyi-bunyian merdu, ganda yang harum, wanita-wanita cantik! Kita sudah dianugerahi mata, hidung, telinga, mulut. Gunakanlah sebaik-baiknya untuk menikmati berkah-berkah yang memenuhi dunia. Pergunakan matamu untuk segala keindahan dan menikmatinya. Lihat tamasya alam yang amat indah, lihat bunga-bunga yang cantik, lihat wanita-wanita yang jelita! Pergunakanlah telingamu untuk menikmati segala bunyi-bunyian yang merdu, burung-burung berkicau, margasatwa berdendang, alat tetabuhan dan nyanyian merdu. Mulut? Nikmati segala makanan yang lezat karena memang itu adalah hak kita. Rasakan segala rasa di dunia ini. Manis, asin, gurih, masam dan pahit! Hidung? Pakailah untuk menikmati hidup, untuk mencium ganda harum, sedap dan wangi! Pendek kata, selama seratus tahun aku hidup cukup penuh kenikmatan dan sekarang menghadapi mati aku tidak penasaran dan menyesal lagi, Keng Hong."
Keng Hong tersenyum pahit mengenang ucapan suhu-nya ini. Biar pun pada lahirnya dia tak berani membantah, namun di dalam hatinya dia kurang menyetujui pendapat tentang hidup seperti yang dikemukakan suhu-nya. Mungkin sudah terlalu banyak dia dipengaruhi kitab-kitab kuno yang mengajarkan tentang filsafat hidup, tentang kesusilaan, peradaban dan kebudayaan.
Gurunya tidak mempedulikan semua itu. Gurunya pengejar kesenangan duniawi. Namun, sungguh pun dia tidak menyetujui pendapat suhu-nya yang dalam hal ilmu bun (sastra) tidaklah sangat mendalam pengetahuannya, dia dapat menemukan kesederhanaan dan kejujuran yang tidak dibuat-buat, dan tahu pula bahwa di balik cara hidup ugal-ugalan seperti suhu-nya itu tersembunyi dasar watak yang baik dan gagah perkasa.
"Entah berapa ratus orang wanita cantik yang menjadi kekasihku, Keng Hong." Demikian suhu-nya pernah bercerita. "Aku tak pernah menolak cinta kasih seorang wanita! Wanita bagiku adalah bunga yang membutuhkan belaian dan kasih sayang. Karena itu aku tidak pernah menolaknya, tidak peduli dia itu cantik jelita, manis, buruk, muda mau pun tua! Tentu saja terutama sekali yang cantik molek, tidak peduli dia itu gadis, janda, atau sudah bersuami, sudah beranak atau bercucu! Aku menerima kedatangan mereka dengan hati dan kedua lengan terbuka! Hanya satu yang merupakan pantangan bagiku, yaitu bahwa aku tidak sudi mendekati wanita yang tidak suka menerima kedatanganku. Aku tidak sudi menggagahi wanita yang tidak menghendaki aku. Aku tidak sudi cinta sepihak saja!"
Teringat akan ini, Keng Hong menggeleng-gelengkan kepalanya. Suhu-nya benar-benar seorang mata keranjang! Pelahap wanita! Tentu saja dia tak ingin seperti suhu-nya, akan tetapi dia merasa terharu kalau teringat akan pendirian terakhir suhu-nya yang tidak sudi menggagahi wanita yang tidak cinta kepadanya. Tentu saja merupakan hal yang sangat buruk kalau suhu-nya berjinah dengan wanita yang bersuami, akan tetapi kalau si wanita itu sendiri suka..., sungguh dia tidak tidak tahu harus menilai bagaimana.
"Hanya satu pesanku, Keng Hong. Engkau boleh saja mencinta seribu wanita, akan tetapi jangan sekali-kali kau membiarkan kakimu terikat oleh pernikahan! Sekali engkau terikat, maka akan lenyaplah kebebasanmu dan tak mungkin pula dapat mempertahankan hidup seperti aku!"
Keng Hong makin bingung. Soal-soal tentang cinta dan pernikahan masih belum menarik perhatian. Betapa pun juga suhu-nya bukan golongan jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Dan suhu-nya tidak pernah dengan sengaja melakukan kejahatan kepada orang lain.
Bila dia sampai dimusuhi adalah sebagai akibat dari sikapnya yang ugal-ugalan, melayani cinta kasih wanita-wanita isteri orang lain, kemudian apa bila menghendaki setiap benda, terus diambilnya begitu saja dengan dasar bahwa yang kehilangan benda itu tidak akan menderita! Maka terjadilah perampokan benda-benda berharga milik pembesar-pembesar tinggi yang kaya raya, pencurian kitab-kitab dari partai-partai persilatan besar, permainan jinah dengan isteri-isteri cantik, dan sebagainya sehingga di dunia ini dia memiliki banyak sekali musuh!
Keng Hong bergidik ngeri. Ia tahu bahwa banyak sekali orang sakti menginginkan pusaka warisan suhu-nya yang kuncinya terdapat dalam Siang-bhok-kiam. Bagaimana kalau dia turun gunung kemudian dikejar-kejar mereka yang hendak merampas Siang-bhok-kiam? Gurunya selama ini dapat mempertahankan pedangnya, akan tetapi bagaimana dengan dia? Musuh terlalu banyak, dan di antara mereka banyak yang sakti. Betapa mungkin dia dapat menandingi mereka dan mempertahankan Siang-bhok-kiam?
"Kiranya engkau baru akan dapat menandingi kesaktian mereka itu kalau engkau sudah mempelajari semua kitab-kitab peninggalanku..." Begitu antara lain gurunya meninggalkan pesan sebelum menutup mata.
Dan rahasianya berada di Siang-bhok-kiam! Kenapa turun gunung sebelum dia mendapat bekal kesaktian yang akan cukup kuat dipakai mempertahankan Siang-bhok-kiam? Lebih baik dia mencari dan mempelajari kitab-kitab itu!
Pada esok harinya, Keng Hong mulai memeriksa dan meneliti pedang Siang-bhok-kiam. Pedang itu tidak bersarung, pedang telanjang yang terbuat dari pada bahan kayu yang berbau sedap harum. Warnanya kehijauan dan kerasnya melebihi baja!
Keng Hong meraba-raba pedang Siang-bhok-kiam sambil meneliti ukiran huruf-huruf kecil yang pernah dilihat dan dibacanya. Kini dia memeriksa dan membacanya kembali:
Kebijaksanaan tertinggi seperti air!
Tulus dan sungguh mengabdi kebajikan.
Tukang saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka!
Keng Hong mengerutkan kening. Sepanjang pengetahuannya, Sin-jiu Kiam-ong gurunya itu adalah orang yang paling memandang rendah para pendeta yang dia anggap sebagai orang-orang munafik yang pura-pura suci. Karena itu, pengetahuan suhu-nya mengenai kitab-kitab suci hanya sepotong-sepotong dan ngawur saja. Akan tetapi mengapa pedang itu diukir dengan bait-bait yang terdiri dari kata-kata yang hanya dipergunakan di dalam kitab-kitab suci?
Sudah jelas bahwa gurunya yang membuat huruf-huruf ini. Dia mengenal huruf tulisan suhu-nya yang bengkak-bengkok tidak dapat dikatakan indah. Namun orang yang sudah bisa menuliskan huruf-huruf kecil pada tubuh Siang-bhok-kiam, kiranya di dunia ini hanya dapat dihitung dengan jari tangan! Apakah artinya huruf-huruf itu? Apakah artinya sajak yang bukan sajak, ujar-ujar yang setengah matang itu?
Keng Hong merasa seperti sering membaca kalimat-kalimat ini. Akan tetapi setelah dia ingat-ingat, dia tahu betul bahwa tidak ada ujar-ujar seperti itu bunyinya dalam kitab yang mana pun juga! Sehari semalam lamanya dia merenungi arti tiga baris tulisan ini, namun tetap saja dia tidak dapat mengerti.
Akhirnya dia berpendapat bahwa mungkin rahasianya bukan terletak di dalam baris-baris sajak yang tidak karuan ini, melainkan pada pedang itu sendiri. Diperiksanya pedang itu, ditekan sana-sini, dicarinya kalau-kalau ada bagian yang mengandung rahasia. Namun dia tak berhasil menemukan sesuatu yang aneh di pedang itu kecuali huruf-huruf tadi.
Keng Hong telah berlatih ketekunan selama lima tahun di tempat itu, maka kini pun dia tidak mudah putus asa. Dengan tekun dia lalu mencari-cari di seluruh permukaan puncak batu pedang memeriksa kalau-kalau ada goa rahasia atau ada lubang-lubang yang cocok dengan ukuran pedang untuk dicongkel, kalau-kalau di situ terdapat pintu rahasia tempat penyimpanan pusaka suhu-nya.
Namun, sampai sebulan sejak suhu-nya meninggal dunia, dia tidak berhasil menemukan pusaka itu di permukaan puncak batu pedang. Sementara itu, persediaan buah-buahan sudah habis. Maka diambilnya keputusan untuk meninggalkan tempat itu, sesuai dengan pesan Kiang Tojin karena dia merasa tidak berhak tinggal di situ lebih lama lagi.
Untuk penghabisan kalinya ia berlutut dan bersembahyang ke arah empat penjuru sambil menyebut nama suhu-nya, kemudian menyelipkan Siang-bhok-kiam di sebelah dalam bajunya. Ketika menyelipkan Siang-bhok-kiam ini, dia tersenyum dan menoleh ke sebuah sudut di atas permukaan puncak batu pedang.
Ia merasa girang bahwa akhirnya timbul keberaniannya untuk turun dan menghadapi apa saja dengan dada lapang. Dia sudah lupa akan watak ayah bundanya, namun dia masih ingat benar akan watak gurunya.
Gurunya seorang periang, mengapa dia sebagai muridnya tidak mencontoh watak guru? Ia harus menghadapi segala rintangan yang mungkin timbul dengan hati riang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri! Dia kini bebas lepas seperti seekor burung terbang di udara. Mengapa tidak gembira?
Dengan wajah berseri, pemuda remaja yang tampan ini lalu menuruni puncak ini. Setelah mengoper sinkang darisuhu-nya sebulan yang lalu, dia merasa tubuhnya demikian penuh hawa yang amat kuat, yang membuat dia dapat meringankan tubuhnya. Menuruni tebing yang curam itu dapat dia lakukan dengan amat mudahnya, jauh lebih mudah dari pada yang sudah-sudah kalau dia turun mencari persediaan makan untuk suhu-nya dan dia.
********************
"Aiiih...! Tolonggg...! Lepaskan aku...!" Jerit melengking ini jelas keluar dari mulut seorang wanita.
Keng Hong yang tadinya mengira bahwa turunnya tentu akan langsung dihadang musuh, mendapatkan kenyataan bahwa Kiam-kok-san (Puncak Lembah Pedang) di bawah batu pedang sunyi saja. Akan tetapi tiba-tiba saja dia mendengar lengking yang mengerikan itu, yang membuat bulu tengkuknya berdiri! Apa lagi karena sebagai seorang yang telah tergembleng hebat, dia mendapat perasaan seolah-olah banyak pasang mata yang selalu mengikuti gerak-geriknya.
Keng Hong tidak mempedulikan perasaan ini karena dia sudah melesat ke kiri, berlari ke arah suara yang menjerit tadi. Apa pun yang akan terjadi, sudah pasti bahwa di sana ada seorang wanita yang minta tolong, yang membutuhkan bantuan karena keselamatannya terancam.
"Jangan menolak setiap uluran tangan yang minta pertolongan," demikian pesan gurunya, "Namun waspadalah terhadap tangan yang berniat menolongmu."
Bukan karena teringat akan pesan suhu-nya, melainkan terutama sekali karena dorongan hati sendiri. Keng Hong melesat cepat untuk menolong wanita yang terancam bahaya, timbul dari dorongan welas asih yang memang sudah ada pada setiap hati manusia.
Tidak lama kemudian tibalah dia di sebuah lapangan terbuka dan dia tercengang. Di situ telah berkumpul puluhan orang tosu Kun-lun-pai dan paling depan tampak penolongnya, Kiang Tojin berdiri dengan sikap angker, tangan kirinya mencengkeram pundak seorang wanita cantik yang meronta-ronta dan merintih-rintih.
Dan selain tokoh-tokoh Kun-lun-pai, tampak pula Thian Seng Cinjin sendiri berdiri dengan bersandar pada tongkatnya! Ketua Kun-lun-pai ini tampak sudah tua sekali. Sikap mereka semua yang kini memandang Keng Hong membayangkan bahwa mereka semua memang sedang menantinya!
Keng Hong menghentikan larinya dan otomatis dia menoleh. Benar saja seperti sudah diduganya tadi, di sebelah belakangnya kini muncul belasan orang tosu Kun-lun-pai dan dia berdiri terkurung di tengah, berhadapan dengan Kiang Tojin yang menangkap wanita cantik itu serta ketua Kun-lun-pai yang berdiri dengan sikapnya yang agung dan ramah! Keng Hong merasa seolah-olah menjadi seekor kelinci yang dikurung oleh puluhan ekor harimau kelaparan!
Akan tetapi, dia adalah seorang yang semenjak kecil sudah belajar kesopanan. Melihat Kiang Tojin yang menjadi penolongnya serta para tosu Kun-lun-pai yang pernah melepas budi selama dua tahun kepadanya, dia cepat-cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan Thian Seng Cinjin dan Kiang Tojin sambil berkata,
"Boanpwe (saya yang rendah) bekas kacung Cia Keng Hong datang menghadap para locianpwe (orang-orang tua gagah), mohon di maafkan segala kesalahan boanpwe!"
Thian Seng Cinjin tersenyum lebar dan Kiang tojin berseri wajahnya lalu menggerakkan tangannya yang mencengkeram pundak wanita itu sambil berkata kepada anak muridnya, "Belenggu wanita jahat ini!"
Dua orang tosu lalu datang dan mengikat kaki tangan wanita itu pada sebatang pohon. Keng Hong melirik dengan ujung matanya, melihat betapa wanita yang usianya sekitar dua puluhan tahun dan amat cantik jelita itu menangis perlahan sehingga hatinya merasa kasihan sekali. Akan tetapi dia cepat-cepat mengalihkan perhatiannya ketika Kiang Tojin berkata.
"Baik sekali, Keng Hong. Bangun dan berdirilah karena engkau bukan anak murid kami, juga bukan kacung kami lagi. Sudah sebulan lamanya kami menunggumu. Apakah yang menyebabkan engkau terlambat sampai sebulan baru turun dari Kiam-kok-san?"
Keng Hong terkejut. Kiranya para tosu Kun-lun-pai ini sudah tahu bahwa suhu-nya telah meninggal sebulan yang lalu dan diam-diam sudah menjaga dan menanti dia turun dari puncak batu pedang. Yang menjaga dan memata-matai di Kiam-kok-san hanyalah anak murid Kun-lun-pai, agaknya ketua Kun-lun-pai dan Kiang Tojin masih tak mau melanggar pantangan untuk mengotori Kiam-kok-san!
Kemudian dia teringat betapa dia sudah membakar jenasah suhu-nya di dalam pondok. Agaknya pembakaran itulah yang memberitahukan para tosu. Sebelum dia menjawab, karena melihat dia meragu dan bingung, Kiang Tojin sudah berkata lagi,
"Kami melihat betapa ada asap mengebul dari puncak Kiam-kok-san. Kami tidak suka mengganggu seorang murid yang berkabung atas kematian gurunya, maka kami hanya menunggu. Akan tetapi, alangkah banyaknya orang yang sedang menanti-nantimu, Keng Hong. Wanita jahat ini adalah orang terakhir dari kaum sesat yang menunggumu turun gunung dan yang sudah siap menurunkan tangan jahat kepadamu."
"Bohong! Tosu bau tak pernah mandi! Siapa yang hendak turun tangan jahat terhadap pemuda itu? Aku hanya ingin menonton keramaian, kemudian tersesat di sini dan kalian menggunakan pengeroyokan menangkap aku! Cih, tak tahu malu! Segerombolan kakek tua bangka mengeroyok seorang gadis! Kau kira aku tidak tahu? Kalian hanya pura-pura menjadi pendeta, padahal menggunakan kesempatan untuk meraba-raba dan membelai belai tubuhku dengan alasan hendak menangkap seorang penjahat!"
Hebat bukan main penghinaan ini. Banyak di antara para tosu Kun-lun-pai menjadi merah sekali mukanya, entah merah karena malu ataukah karena marah. Akan tetapi yang jelas, banyak di antara mereka yang melotot marah dan memandang wanita cantik itu penuh kebencian.
Akan tetapi Kiang Tojin dan Thian Seng Cinjin hanya tersenyum saja, sedikit pun tidak terpengaruh oleh ucapan-ucapan menghina itu. Kiang Tojin hanya membalikkan tubuhnya dan tiba-tiba tangan kanannya bergerak ke depan dengan jari telunjuk menuding ke arah wanita yang terikat di pohon itu.
Jarak di antara mereka ada tiga meter, akan tetapi terdengar angin bercuit dan... tubuh wanita itu lantas menjadi lemas dan ia tak dapat mengeluarkan suara lagi karena ia telah terkena totokan yang dilakukan dari jarak jauh! Hanya matanya saja yang memandang dengan mendelik penuh kemarahan.
Diam-diam Keng Hong terkejut dan kagum sekali. Juga merasa betapa ketekunannya selama lima tahun ini sesungguhnya tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian tosu yang menjadi penolongnya ini. Sebagai orang yang pernah mempelajari ilmu silatnya masih kalah jauh sekali oleh Kiang Tojin, dan agaknya kalau harus melawan tosu ini, belum tentu dia sanggup bertahan sampai lima jurus!
"Keng Hong, ketahuilah bahwa baik kaum sesat atau orang-orang gagah yang menaruh dendam kepada gurumu selalu mengincarmu untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam serta rahasia penyimpanan kitab-kitab gurumu. Kami para tosu Kun-lun-pai sama sekali bukanlah orang-orang serakah dan tak menghendaki apa-apa, baik dari Sin-jiu Kiam-ong atau dirimu. Akan tetapi mengingat bahwa engkau datang ke Kun-lun-pai tidak membawa apa-apa, maka kepergianmu dari sini pun tidak boleh membawa apa-apa! Jadi bila mana Siang-bhok-kiam berada bersamamu, pedang itu harus kau tinggalkan pada pinto. Begitu pula segala benda lain yang kau bawa, kitab-kitab atau apa saja, harus ditinggalkan. Hal ini bukan sekali-kali karena pinto ingin memilikinya, melainkan pertama, benda-benda itu hanya akan mendatangkan mala petaka padamu, dan dari pada jatuh ke tangan kaum sesat sehingga mereka menjadi lebih lihai, lebih baik kami simpan atau kami hancurkan di Kun-lun-san!"
Keng Hong mengerutkan keningnya, "Akan tetapi, pedang yang saya bawa ini merupakan pemberian suhu, bukan hasil mencuri milik Kun-lun-pai!"
Kiang Tojin tersenyum dan mengangguk-ngangguk, "Betul, akan tetapi Sin-jiu Kiam-ong telah meninggal dunia di Kiam-kok-san, maka semua peninggalannya harus ditinggalkan di Kiam-kok-san pula. Biar pun engkau muridnya, tak boleh engkau membawanya pergi dari Kun-lun-san."
"Kalau saya menolak?"
Kiang Tojin mengerutkan alisnya dan mengangkat mukanya. "Keng Hong, tidak tahukah engkau bahwa peraturan kami ini demi keselamatanmu sendiri? Kalau engkau menolak, berarti engkau lupa akan budi dan pinto terpaksa menggunakan kekerasan!"
Keng Hong dapat menyelami maksud hati Kiang Tojin dan dia makin kagum dan tunduk kepada tosu Kun-lun-pai yang bijaksana serta cerdik ini. Akan tetapi untuk mengalah begitu saja dia merasa enggan. Apa lagi tidak ada kesempatan yang lebih baik dari pada berlatih melawan Kiang Tojin yang tidak mempunyai niat buruk terhadap dirinya. Biarlah dia berlatih dengan penolongnya yang berilmu tinggi ini.
"Maafkan saya, Totiang. Sebelum menyerahkan pedang ini ingin sekali saya menerima petunjuk Totiang dalam hal ilmu silat."
Kiang Tojin tertawa, "Ha-ha-ha, memang sejak dahulu engkau keras hati. Baiklah, Keng Hong. Kau boleh menyerangku, pinto juga ingin melihat sampai di mana hasilmu berguru kepada mendiang Sin-jiu Kiam-ong! Mulailah!"
Biar pun belum pernah menggunakan kepandaian yang dipelajarainya selama lima tahun itu untuk bertanding dalam pertempuran sungguh-sungguh, akan tetapi Keng Hong sudah menguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi. Juga dia selalu ingat akan semua nasehat dan petunjuk suhu-nya. Ia ingat akan nasehat gurunya bahwa bagi seorang yang sudah tinggi ilmu silatnya, lebih baik diserang lebih dahulu dari pada menyerang, karena lawan yang menyerang itu otomatis akan membuka bagian yang kosong sehingga mudah ‘dimasuki’ dalam serangan balasan yang dilakukan otomatis pula.
Karena dia tahu bahwa Kiang Tojin adalah lawan yang amat berat, maka setelah berseru keras dia maju memukul dengan gerakan perlahan dan berhati-hati, hanya menggunakan seperempat bagian perhatiannya saja untuk menyerang, yang tiga perempat bagian dia cadangkan untuk penjagaan diri agar begitu lawannya membalas, dia dapat menghindar dengan elakan atau tangkisan.
"Wuuuttt!" Pukulan tangan kanannya menyambar, mendatangkan angin yang kuat.
"Bagus...!" Kiang Tojin berseru, kagum melihat kenyataan betapa kuatnya pukulan Keng Hong sehingga tidak mengecewakan menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong karena dia sendiri tidak akan sanggup melatih seorang murid selama lima tahun sudah memiliki sinkang yang sedemikian kuatnya. Namun diam-diam dia kecewa menyaksikan gerakan-gerakan yang amat sederhana itu, padahal dia tadinya mengira bahwa ilmu silat yang diturunkan kakek raja pedang itu kepada muridnya tentu hebat.
Melihat pukulannya hanya dielakkan Kiang Tojin dan ternyata tosu itu sama sekali tidak membalasnya, bahkan jelas menunggu serangan selanjutnya, tahulah Keng Hong bahwa tosu penolongnya ini benar-benar hanya ingin mengujinya. Pujian yang keluar dari mulut Kiang Tojin itu membuat telinganya merah. Sudah jelas bahwa dia tadi memukul dengan gerakan sederhana saja, bahkan dengan tenaga yang hanya seperempatnya, bagaimana bisa di sebut bagus? Apakah tosu penolongnya ini mengejeknya?
Biarlah, kalau aku kalah biar kalah, roboh di tangan tosu yang menjadi tokoh kedua dari Kun-lun-pai ini, apa lagi yang menjadi penolongnya, tidaklah amat memalukan. Maka dia pun berkata,
"Totiang, maafkan kelancanganku!"
Seruan ini dia tutup dengan gerakan menyerang. Kini Keng Hong tidak mau diejek untuk kedua kalinya. Ia mengerahkan sinkang dari pusarnya. Hawa panas meluncur cepat ke arah kedua lengannya dan dia menggunakan ginkang-nya. Tubuhnya melesat bagaikan kilat menyambar ke arah Kiang Tojin dan sekaligus dia memukulkan kedua tangannya dalam serangan berantai.
Harus diketahui bahwa dalam silat tangan kosong, Keng Hong belum dapat dikatakan lihai. Ia hanya digembleng dengan pengertian dan gerakan-gerakan dasar ilmu silat saja. Setiap gerakan tangan dan geseran kaki memang dapat dia lakukan dengan mahir, tetapi rangkaian ilmu silat belum banyak dia pelajari karena waktunya tidak mengijinkan.
Dari suhu-nya dia hanya baru dapat memetik ilmu silat tangan kosong yang oleh gurunya dinamai San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) yang diambil dari keadaan di puncak Kiam-kok-san. Ilmu silat ini merupakan gerakan-gerakan inti ilmu silat tinggi, namun diatur amat sederhana sehingga hanya terdiri dari delapan buah jurus serangan saja!
Dalam serangan ke dua ini Keng Hong yang tidak mau diejek itu sudah mempergunakan jurus yang disebut Siang-in-twi-an (Sepasang Awan Mendorong Gunung). Kedua kakinya masih di udara ketika dia melompat, namun siap melakukan tendangan susulan sebagai perkembangan jurus ini, ada pun kedua lengannya didorong ke depan secara bergantian sambil mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya.
"Siuuuuttt...!"
"Siancai...!" Kiang Tojin terkejut bukan kepalang.
Ia sudah merasa amat kagum melihat tenaga pada serangan pertama tadi, tapi serangan kedua ini benar-benar membuat ia kaget karena serangan ini bukan merupakan serangan main-main dari seorang pemuda yang baru lima tahun belajar ilmu silat!
Serangan ini lebih pantas kalau dilakukan seorang tokoh persilatan yang sudah melatih diri selama puluhan tahun! Tenaga pukulan itu dapat dia ukur dari angin yang menyambar dan biar pun Kiang Tojin sendiri tidak berani menerima pukulan sehebat itu.
Cepat tosu itu meloncat ke samping dan memutar tubuhnya sambil mengangkat tangan karena melihat kedudukan tubuh Keng Hong di udara itu dia maklum bahwa pemuda ini akan melanjutkan jurus itu dengan tendangan. Dugaannya memang tepat, karena itu baik dorongan tangan mau pun tendangan Keng Hong hanya mengenai angin belaka, dan hanya berhasil membuat pakaian tosu itu berkibar.
Ketika serangan kedua ini gagal, Keng Hong yang khawatir kalau-kalau menerima akan serangan balasan, lalu segera menggunakan ginkang-nya dan di udara tubuhnya sudah berjungkir balik dibarengi seruannya yang keras sekali. Tubuhnya berputaran di angkasa dan membalik, lalu meluncur turun dan langsung menyerang untuk ketiga kalinya ke arah Kiang Tojin yang masih berdiri terbelalak.
Gaya serangan tadi saja sudah membayangkan ilmu silat yang luar biasa sekali, apa lagi tenaga serangan itu yang membuat kulit tubuhnya terasa pedas dan dingin sekali, maka kini tosu ini melongo menyaksikan ginkang sehebat itu. Tapi pada detik berikutnya, tubuh pemuda ini sudah meluncur dan menyerangnya dari atas seperti seekor burung garuda menyambar.
Sekali ini Keng Hong menggunakan jurus ke delapan atau jurus terakhir dari ilmu silat San-in Kun-hoat, yaitu jurus yang disebut In-keng Hong-i (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan). Jurus inilah yang paling sukar dimainkan, karena keempat kaki tangan melakukan serangan dari atas secara bertubi-tubi.
Keng Hong yang ingin memperlihatkan apa yang telah dia pelajari dari suhu-nya supaya tidak dipandang rendah, telah menggerakkan kedua kakinya susul-menyusul menendang ke arah dada dan perut, disusul dengan hantaman tangan kiri yang terkepal ke arah leher dan akhirnya dengan jari terbuka ke arah ubun-ubun kepala lawannya!
Benar-benar serangan yang amat hebat, cepat dan mengandung tenaga mukjijat karena pada saat itu dia mempergunakan seluruh hawa sinkang di tubuhnya yang dia lancarkan melalui kedua tangan dan kakinya! Ketika dia marah-marah kepada diri sendiri di puncak batu pedang, dengan pukulan seperti inilah dia telah menggempur batu menonjol hingga batu setinggi orang itu telah hancur lebur.
"Hayaaaa...!" Kiang Tojin benar-benar kaget sekali sekarang.
Ia maklum bahwa sedikit pun dia tidak boleh memandang ringan serangan ini dan dia pun maklum bahwa serangan ini terlalu dahsyat dan berbahaya. Maka dia lalu mengerahkan perhatian dan tenaganya.
Tendangan kedua kaki mengarah perut dan dadanya dia hindarkan dengan elakan cepat, demikian pula pukulan ke arah lehernya. Akan tetapi tamparan ke arah ubun-ubunnya sedemikian cepat dan hebatnya sehingga amat berbahaya kalau dielakkan karena sedikit saja bagian kepalanya terkena, tentu akan mendatangkan bencana hebat. Maka dia lalu mengerahkan tenaganya, miringkan kepala dan tubuh, lantas secepat kilat dia menangkis tamparan itu sambil terus menangkap tangan Keng Hong yang terbuka.
Kiang Tojin adalah seorang tokoh besar yang telah mempunyai tingkat kepandaian amat tinggi, juga mempunyai tenaga sinkang yang sukar dicari bandingannya. Maka sangatlah mengherankan kalau sekarang menghadapi seorang muda yang baru belajar selama lima tahun dia terpaksa harus berhati-hati dan mengerahkan tenaganya.
"Plakk...! Aihhhh....!"
Kiang Tojin berseru kaget bukan main. Ketika ia menangkis tamparan Keng Hong dengan telapak tangannya, dia merasa seolah-olah lengannya tertindih oleh tenaga yang sangat kuat dan berat sehingga hampir tak kuat dia menahannya, yang membuat seluruh lengan sampai setengah dada terasa ngilu! Sebagai seorang yang sakti, tentu saja dia terkejut namun tidak kehilangan akal. Cepat dia memutar telapak tangannya bergerak, membuat tubuh Keng Hong terbanting ke bawah.
Akan tetapi, karena pemuda itu memiliki ginkang yang luar biasa, dia terbanting dalam keadaan berdiri sungguh pun bantingan itu membuat dia berdiri setengah berlutut dengan tangan masih menempel dengan tangan Kiang Tojin yang menangkapnya.
"Heeiiiitttt...!" Kembali Kiang Tojin memekik kaget dan megerahkan tenaga sinkang untuk melepaskan pegangannya.
Akan tetapi sungguh aneh sekali, dia tidak dapat melepaskan pegangannya pada tangan Keng Hong! Dapat dibayangkan betapa terkejut dan herannya ketika dia merasa betapa semakin dia mengerahkan sinkang, maka hawa sakti itu seakan-akan air dituangkan ke dalam laut, amblas dan hanyut tanpa bekas, bahkan kini tidak dapat lagi dia menahan sinkang-nya yang terus mengalir keluar melalui lengannya dan tersedot masuk ke dalam tubuh Keng Hong melalui tangan!
"Iiiiihhhh..., ehhhh...!"
Kiang Tojin menjadi pucat, matanya terbelalak dan ia meronta-ronta hendak melepaskan pegangannya. Namun sia-sia belaka, karena seperti ada tenaga mukjijat yang membuat tangannya lekat dan dia pun tak dapat menahan sinkang-nya yang menerobos keluar.....
Komentar