PEDANG KAYU HARUM : JILID-02
Namun kakek tua renta itu sama sekali tidak menjadi gugup, hanya mengangkat kedua tangannya dan sepuluh batang jari tangannya bergerak-gerak bagaikan sepuluh ekor ular hidup, namun kuku-kuku jari tangan itu merupakan perisai yang tidak hanya menangkis semua senjata rahasia, bahkan dengan sentilan aneh dapat mengirim kembali senjata-senjata kecil itu ke arah penyerang-penyerangnya! Terjadilah hujan senjata rahasia dari kedua fihak, yang menyerang dan yang mengembalikan!
"Sahabat-sahabat yang sealiran! Apa bila hari ini kita tidak melenyapkan seorang oknum busuk, mau tunggu sampai kapan lagi? Marilah kita basmi dia bersama-sama!" teriak Tan Kai Sek, piauwsu tua itu sambil terus menyerang dengan senjata rahasianya.
Tujuh orang gagah yang lain setuju dengan ajakan ini. Mereka semua menaruh dendam kepada Sin-jiu Kiam-ong dan sudah jelas tadi bahwa kalau mereka hanya mengandalkan kepandaian masing-masing, tidak akan mungkin mereka dapat mengalahkan kakek sakti itu. Sambil menyatakan setuju mereka semua mencabut senjata dan menerjang maju!
Akan tetapi mendadak tampak bayangan kakek itu berkelebat ke atas dan ketika mereka memandang, kakek sakti itu bersama Siang-bhok-kiam sudah lenyap pula. Kiranya kakek itu meloncat ke atas dan dengan amat cepatnya merayap naik ke atas batu pedang dan telah lenyap ke dalam awan atau halimun tebal yang menutup bagian atas batu pedang. Dari atas terdengar suaranya tertawa tergelak, seolah-olah suara ini datangnya dari langit karena tidak tampak orangnya yang tertutup oleh halimun tebal.
"Ha-ha-ha, sembilan orang gagah yang berada di bawah! Kalau aku tadi menghendaki, apa susahnya membunuh kalian dengan Siang-bhok-kiam? Dan kalau aku menyerahkan nyawa, alangkah mudahnya bagi kalian untuk membunuhku. Akan tetapi aku belum mau mati, karena dalam hari-hari terakhir ini aku masih ingin menikmati tamasya alam yang sangat indahnya di Kiam-kok-san! Aku tidak mau membunuh kalian karena aku tak ingin mengotori tempat seindah ini dengan darah kalian, dan aku belum mau mati karena aku masih ingin menikmati keindahan alam di sini. Bila mana kalian masih belum terima dan merasa penasaran, hayo siapa yang berani boleh naik!"
Sembilan orang itu saling pandang dan tak seorang pun berani naik. Bagi mereka yang berilmu tinggi, kiranya tidaklah amat sukar untuk mendaki batu pedang itu ke atas, akan tetapi batu pedang itu tidak dapat didaki oleh mereka bersama-sama, harus seorang demi seorang. Dan kalau mereka mendaki ke atas seorang demi seorang, sama saja dengan menyerahkan nyawa kepada kakek itu!
Kembali terdengar suara ketawa dari atas. "Ha-ha-ha! Jangan kira aku amat pelit untuk menyerahkan nyawa di dalam tubuh tua ini atau menyerahkan Siang-bhok-kiam. Kuminta waktu sebulan lamanya untuk menikmati tempat ini. Setelah sebulan, kalau kalian masih menghendaki jiwaku, datanglah ke kaki gunung sebelah selatan, di dalam hutan mawar, di sana aku menanti kalian bersama Siang-bhok-kiam!"
Setelah terdengar suara ini, keadaan menjadi sunyi. Mereka menanti-nanti namun tidak ada suara lagi. Karena merasa tidak akan ada gunanya menanti, apa lagi mencoba untuk mengejar kakek sakti itu ke atas puncak batu pedang yang ujungnya lenyap tersembunyi di balik kabut tebal, akhirnya sembilan orang gagah itu pergi meninggalkan Kiam-kok-san dan di dalam hati berjanji untuk mencari hutan mawar yang dimaksudkan si kakek sakti sebulan kemudian.
********************
Pada masa itu, kerajaan Beng (1368-1644) mengalami perpecahan dan perang saudara. Dinasti Beng didirikan oleh Ciu Goan Ciang yang berhasil mengusir pemerintah penjajah Goan (Mongol) dan kemudian menjadi Kaisar pertama Dinasti Beng dengan julukan Kaisar Thai Cu (1368-1398).
Peking (ibu kota utara) yang tadinya merupakan kota raja Kerajaan Mongol, oleh Kaisar Kerajaan Beng ini tidak dijadikan pusat kerajaan. Sebagai ibu kota dipilihnya Nanking (ibu kota selatan) yang letaknya di lembah Sungai Yang-ce-kiang, di daerah yang lebih subur tanahnya.
Akan tetapi kota Peking yang merupakan daerah pergolakan dan pangkalan penting untuk mempertahankan ancaman serangan balasan bangsa Mongol di utara yang sudah diusir dari pedalaman, tetap dipertahankan dan di bekas kota raja Mongol ini diperkuat dengan bala tentara besar dan dipimpin oleh putera Kaisar Thai Cu sendiri, yaitu Yung Lo yang terkenal gagah perkasa dan pandai berperang.
Perpecahan dalam kerajaan Beng yang baru ini terjadi setelah kaisar pertama meninggal. Kaisar Thai Cu meninggal dalam tahun 1398 dan karena putera sulung kaisar ini sudah meninggal dunia, maka sebelum meninggal Kaisar Thai Cu sudah menunjuk keturunan dari putera sulungnya, jadi cucunya yang amat dikasihinya, untuk menggantikannya dan naik tahta pada tahun berikutnya. Cucu yang menjadi kaisar ke dua dari kerajaan Beng ini bernama Hui Ti. Dan peristiwa inilah yang menimbulkan perang saudara.
Pangeran Yung Lo atau lebih tepat disebut Raja Muda Yung Lo yang menguasai daerah pertahanan di Peking, tidak mau menerima pengangkatan keponakannya menjadi kaisar pengganti ayahnya. Dia merasa lebih berhak dan lebih berjasa. Oleh karena itu, Yung Lo membawa bala tentara dan menyerbu ke selatan, ke Nanking. Terjadilah perang saudara.
Perang saudara selalu mengerikan, di mana terjadi bunuh-membunuh di antara saudara sendiri, antara bangsa sendiri. Rakyat pun terpecah-pecah dan saling hantam. Semua ini terjadi hanya karena ulah tingkah atasan yang memperebutkan kedudukan. Untuk dapat mencapai cita-cita pribadi, rakyat dijadikan umpan, kedok, perisai dan senjata. Padahal ketika cita-cita sudah tercapai kemudian pribadinya dimabuk kemuliaan, kemewahan dan kesenangan, biasanya rakyat dilupakan begitu saja!
Di bagian mana pun di dunia ini, tiap kali terjadi perang, rakyat jelatalah yang menderita paling hebat. Di dalam masa yang keruh ini bermunculan orang-orang yang menggunakan kesempatan melampiaskan nafsu-nafsu jahatnya. Perampokan-perampokan, penculikan dan fitnah yang diakhiri pelaksanaan hukum rimba bermunculan di mana-mana.
Sudah lazim bahwa di dalam setiap menghadapi sebuah peristiwa, bermacam-macamlah pendapat orang. Karena setiap buah kepala orang mengandung pendapat yang berlainan, bahkan celakanya berlawanan, maka inilah yang menjadi sebab timbulnya pertentangan dan akhirnya mengakibatkan perpecahan dan keributan
.Juga di dunia persilatan terjadi pula perpecahan sebagai akibat dari pada pendapat yang berlawanan terhadap perang saudara yang timbul di kerajaan Beng yang masih baru itu. Ada yang pro utara (Raja Muda Yung Lo), tapi ada pula yang pro selatan (Kaisar Hui To). Maka di antara mereka terjadilah perang sendiri.
Akan tetapi banyak pula golongan atau tokoh persilatan yang mengundurkan diri dan tak mau mencampuri segala pertentangan dan peperangan itu. Di antara mereka ini adalah Kun-lun-pai yang dipimpin oleh tosu-tosu yang insyaf akan buruknya pertentangan dan peperangan antara saudara sebangsa.
Thian Seng Cinjin, yaitu tosu tua berusia seratus tahun yang pada saat ini menjadi ketua Kun-lun-pai, sudah mengeluarkan larangan keras kepada semua anak murid Kun-lun-pai untuk melibatkan diri dalam perang saudara itu. Bahkan ketua ini telah memanggil semua tokoh-tokoh Kun-lun-pai untuk diajak berkumpul di puncak Kun-lun yang menjadi pusat dari perkumpulan ini dan bersama-sama melakukan semedhi sebagai latihan dan sebagai keprihatinan, dan di samping ini, sang ketua memperdalam pengetahuan mereka tentang pelajaran dalam Agama To (Taoism).
"Murid-murid Kun-lun-pai yang baik," begitu antara lain Thian Seng Cinjin berkata sambil memandang murid-muridnya yang duduk bersila di sekeliling depannya. "Dalam keadaan seperti sekarang ini, camkanlah baik-baik pelajaran ke lima puluh tujuh." Kemudian kakek ini bersenandung membaca isi pelajaran yang mengandung makna dalam sekali.
"Dengan keadilan, negara dapat diatur.
Dengan siasat, peperangan dapat dilakukan.
Namun hanya dengan mengekang diri (tak bertindak),
dunia dapat dimenangkan!
Bagaimana kami tahu yang sedemikian itu?
Karena ini:
Makin banyak larangan, orang makin menderita.
Makin banyak digunakan senjata, makin banyak timbul kekacauan.
Makin banyak hukum diundangkan, makin banyak pelanggaran terjadi.
Makin banyak kepintaran, makin banyak perbuatan yang aneh-aneh.
Maka Orang Bijaksana berkata:
Kami mengekang diri (tak bertindak), rakyat berubah ke arah kebaikan.
Kami suka akan ketenangan, rakyat tenteram dan damai.
Kami tidak bertindak, rakyat hidup makmur.
Kami tidak berkehendak, rakyat pun bersahaja dan jujur.”
Selanjutnya, dengan suara penuh kesabaran Thian Seng Cinjin juga memberi wejangan kepada murid-murid Kun-lun-pai, menegaskan bahwa sebagai penganut ajaran Tao dan murid Kun-lun-pai yang gagah perkasa dan bijaksana mereka harus menyerahkan segala peristiwa kepada kekuasaan alam berdasarkan kewajaran. Hanya akan bergerak untuk menghadapi serta menanggulangi keadaan sebagai akibat. Tak sekali-kali menjadi sebab timbulnya sesuatu ketegangan. Hal ini hanya mudah dicapai dengan sikap diam dan tidak mencampuri urusan yang tidak menyangkut diri pribadi.
Karena pendirian inilah maka Thian Seng Cinjin melarang murid-muridnya terlibat dalam perang saudara, karena sekali mereka turun tangan, mereka akan semakin mengeruhkan suasana dan memperbesar penyembelihan antara saudara sebangsa.
Semua wejangan dan percakapan yang terjadi di ruang belajar yang luas itu didengarkan penuh perhatian oleh seorang anak laki-laki yang sedang bekerja membersihkan jendela-jendela dan pintu-pintu dengan kain kuning. Anak laki-laki ini berusia kurang lebih dua belas tahun, berwajah tampan dan berpakaian sederhana, dari kain kasar. Yang menarik pada anak ini adalah sepasang matanya, karena pandang matanya amat tajam, dengan biji mata yang terang jarang bergerak, membayangkan pikiran yang dalam, pandangan yang luas dan penuh pengertian.
Bocah yang menjadi kacung (pelayan) di kuil besar Kun-lun-pai ini bernama Cia Keng Hong, dan sudah dua tahun dia berada di kuil itu. Dia adalah seorang anak yatim piatu, karena keluarganya, ayah-bundanya dan saudara-saudaranya, semua telah tewas ketika perang saudara mulai pecah.
Mendiang ayahnya adalah seorang thungcu (lurah) di dusun Kwi-bun dan keluarga Cia ini terbasmi habis ketika gerombolan perampok yang muncul pada waktu perang saudara ini menyerbu dan merampok serta membasmi seluruh penduduk Kwi-bun. Oleh karena lurah dusun ini melakukan perlawanan, maka semua keluarganya terbasmi habis.
Keng Hong yang pada saat itu kebetulan ikut menggembalakan kerbau bersama seorang pelayan di luar dusun, selamat dan terbebas dari pada bencana maut. Dalam keributan ini muncullah Kiang Tojin, tosu yang menjadi murid kepala Thian Seng Cinjin.
Tosu ini sedang melakukan perjalanan merantau dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang pendekar sekailigus penyebar Agama To. Melihat perbuatan keji para perampok di dusun Kwi-bun, dia cepat menggunakan kepandaiannya menolong penduduk kemudian berhasil mengusir para perampok.
Kiang Tojin yang amat tertarik melihat Keng Hong, lalu mengajak anak itu ke Kun-lun-san dan di situ Keng Hong bekerja sebagai seorang kacung. Sebetulnya, Keng Hong hendak dijadikan murid Kun-lun-pai, akan tetapi bocah ini tidak mau menjadi tokong (calon tosu). Pada waktu itu, murid Kun-lun-pai harus seorang calon yang memegang keras peraturan, yaitu setiap orang murid Kun-lun-pai haruslah seorang calon tosu.
Karena penolakannya ini, Keng Hong yang sudah tidak mempunyai keluarga itu bekerja sebagai seorang kacung. Dia rajin sekali, semua pekerjaan dia pegang, apa saja yang diperlukan, tanpa diperintah segera dia kerjakan. Mengisi tempat air, membersihkan kuil, menyapu lantai dan kebun, merawat bunga, bahkan menggembala kerbau milik kuil yang dipergunakan untuk meluku sawah, semua dia kerjakan dengan tekun dan rajin.
Di malam hari, karena para tosu yang sayang kepadanya mengijinkannya, dia memasuki kamar perpustakaan dan membaca kitab-kitab. Semenjak kecil, di rumah ayahnya dulu, Keng Hong telah belajar ilmu kesusasteraan sesuai dengan kehendak ayahnya yang ingin melihat dia kelak menjadi seorang terpelajar agar dapat memperoleh kedudukan tinggi.
Kitab-kitab tentang filsafat kebatinan, pelajaran-pelajaran Tao, juga kitab-kitab pelajaran dasar ilmu silat Kun-lun, semua dia baca. Tentu saja karena tidak ada gurunya, dia hanya bisa membaca tanpa dapat menangkap jelas inti sarinya.
Kerajinannya dan sifatnya yang pendiam membuat para tosu suka kepadanya. Bahkan Thian Seng Cinjin sendiri yang melihat sifat-sifat baik anak ini, memujinya dan diam-diam merasa kecewa mengapa anak yang berbakat baik ini tidak suka menjadi calon tosu.
Di lain fihak, Keng Hong paling segan dan takut melihat Thian Seng Cinjin. Dia melihat sesuatu yang aneh dan penuh wibawa pada diri tosu tua ini, baik gerak-geriknya, dari suaranya dan terutama sekali dari pandang matanya yang tenang penuh kesabaran dan seolah-olah dapat menjenguk isi hatinya itu.
Dia sedang membersihkan daun-daun pintu dan jendela yang terkena debu ketika Thian Seng Cinjin dan anak muridnya berkumpul di ruangan belajar. Karena dia tidak diusir dan memang dia bekerja tanpa mengeluarkan suara, maka Keng Hong dapat melihat serta mendengar semua.
Suasana di ruangan belajar itu amat hening sebab para murid mendengarkan wejangan guru mereka dengan penuh hormat dan kesungguhan hati, membuat Keng Hong berkerja makin hati-hati agar tidak mengganggu. Akan tetapi dia kadang-kadang sampai lupa akan pekerjaannya karena mendengar hal-hal yang amat menarik hatinya. Dia mendengarkan terus.
"Suhu, kemarin di puncak Kiam-kok-san sudah terjadi keributan," demikian Kiang Tojin, penolongnya dan merupakan tosu yang paling dihormati dan dicintai Keng Hong, berkata melapor. "Agaknya Sin-jiu Kiam-ong sudah kumat lagi watak mudanya yang suka dengan keributan. Menurut laporan dari para murid, Suhu, ada sembilan orang tokoh kang-ouw, termasuk pula dua orang hwesio Siauw-lim-pai, dua orang tokoh Hoa-san-pai dan seorang tosu Kong-thong-pai, mendatangi dia untuk minta pedang Siang-bhok-kiam. Mereka telah dilayani oleh Sin-jiu Kiam-ong yang berjanji sebulan lagi akan menanti mereka di hutan mawar sebelah selatan kaki gunung. Mohon keputusan Suhu karena keributan ini terjadi di wilayah kita."
"Siancai..., siancai...! Sejak dahulu Sie-taihiap (pendekar besar she sie) selalu mengejar kesenangan dan ketegangan. Akan tetapi harus diakui bahwa di balik kebiasaannya yang buruk itu tersembunyi watak pendekar yang patut kita puji. Kita orang-orang Kun-lun-pai bukan merupakan golongan yang tak kenal budi. Dulu Sie-taihiap pernah menanam budi kepada kita maka kita mengijinkan dia bertapa di Kiam-kok-san yang merupakan tempat suci bagi kita karena dahulu sucouw (Kakek guru) kita memilih tempat itu sebagai tempat bertapa sampai musnah dari dunia. Kini Sie-taihiap mengundang keributan, biarlah kita tidak mencampurinya. Pinto melarang seorang pun murid Kun-lun-pai untuk ikut campur tangan dan biar Sie-taihiap menyelesaikan urusannya sebagaimana yang dia kehendaki."
Mendengar percakapan mereka tentang Sin-jiu Kiam-ong yang berwatak aneh, hati Keng Hong menjadi tertarik sekali. Sudah banyak dia membaca kisah tentang keanehan para pendekar. Walau pun Kun-lun-pai merupakan pusat pendekar-pendekar sakti dan dia pun maklum bahwa Kiang Tojin penolongnya adalah orang yang berilmu tinggi, apa lagi guru penolongnya itu tentu seorang yang sakti, tetapi mereka tak memperlihatkan kepandaian mereka dan hidup sebagai pertapa-pertapa dan petani-petani biasa. Maka kini pada saat mendengar tentang Sin-jiu Kiam-ong yang hendak menghadapi lawan-lawan sakti di kaki gunung sebelah selatan, di dalam hutan mawar, dia menjadi ingin sekali menonton.
Demikianlah, pada hari yang telah ditentukan, sebulan setelah pertemuan di puncak yang disebut puncak Lembah Pedang, Keng Hong menggembalakan kerbaunya di luar hutan mawar. Biasanya bila dia menggembala kerbau yang enam ekor banyaknya itu, dia akan pergi menuju ke utara. Akan tetapi sekali ini dia sengaja menggiring kerbaunya turun ke selatan dan membiarkan kerbaunya itu makan rumput hijau gemuk di luar hutan mawar.
Agar tidak kelihatan bahwa dia sengaja datang ke tempat itu untuk menonton pertemuan orang-orang sakti seperti yang dia ketahui dari percakapan antara ketua Kun-lun-pai dan murid-muridnya, dia lalu berbaring menelungkup di atas punggung kerbau yang terbesar sambil meniup-niup suling bambu yang dibawanya.
Keng Hong mempunyai kepandaian istimewa dalam meniup suling, bahkan sejak kecil ia sudah bermain suling, pandai meniup suling menirukan suara ayam dan burung-burung. Juga dengan tiupan sulingnya dia dapat merangkai suara-suara indah dan menciptakan lagu-lagu yang sungguh pun dirangkai sejadinya namun amat sedap didengar.
Sementara itu, sejak pagi Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong sudah duduk bersila di antara sekelompok bunga mawar, dan seperti ketika dia bersila di bawah batu pedang, sekarang pedang Siang-bhok-kiam juga tergeletak di depan kedua lututnya. Ia duduk bersila tanpa bergerak, dengan kedua mata dipejamkan, hening tenggelam ke dalam semedhi.
Tiba-tiba daun telinga kiri kakek ini bergerak, kemudian perlahan-lahan dia mengejapkan matanya. Ia mengerutkan kening saat mencurahkan perhatian dengan pendengarannya. Kakek ini mempunyai kebiasaan yang aneh, yaitu apa bila dia mendengar sesuatu yang mengesankan, maka daun telinga kirinya dapat bergerak seperti telinga kelinci!
Kalau dia sedang semedhi, meski pun ada suara halilintar menyambar di atas kepalanya, dia tidak akan terkejut atau mempedulikan, akan tetap tenang di dalam siulan-nya. Akan tetapi sekali ini, dia sadar dari siulan-nya (semedhi) karena mendengar tiupan suling yang amat merdu! Suara yang mengandung getaran sangat mengharukan, yang sangat halus seolah-olah hembusan angin pada ujung daun-daun bambu.
Karena Sin-jiu Kiam-ong memang amat suka mendengar suara suling, maka suara suling penuh getaraan halus ini lebih kuat pengaruhnya dari pada ledakan halilintar, menggugah dia dari semedhi dan membuat kakek ini ingin sekali mengetahui siapa gerangan yang dapat meniup suling seindah itu!
Jantungnya berdebar. Kalau peniup suling ini seorang di antara lawan yang hari ini akan mendatanginya, berarti dia akan berhadapan dengan seorang yang sangat sakti. Hanya orang sakti yang sudah tinggi tingkat kebatinannya saja yang akan dapat meniup seindah dan sebersih itu, dengan getaran-getaran asli dari watak yang belum dikotori oleh segala macam nafsu duniawi. Saking tertariknya, kakek ini bangkit berdiri, menyambar pedang kayunya lalu seringan burung terbang tubuhnya melayang ke arah luar hutan dari mana tiupan suling datang.
Ketika sampai di luar hutan dan melihat bahwa yang meniup suling adalah seorang bocah yang sedang duduk di atas punggung seekor kerbau besar, begitu penuh kedamaian dan ketenangan, sejenak Sin-jiu Kiam-ong tercengang kagum. Kemudian dia menghela napas panjang dan berbisik.
"Engkau telah menjadi pikun, terlalu tua! Di mana bisa terdapat orang yang begitu bersih hatinya sehingga tercermin pada tiupan sulingnya? Hanya seorang bocah saja yang akan sanggup meniup suling seperti itu. Di dunia ini mana terdapat orang yang hatinya bersih melebihi hati seorang bocah?"
Ia lalu melangkah masuk ke dalam hutan mawar kembali sambil menggeleng-gelengkan kepala dan mencela kebodohan sendiri. Tak lama kemudian dia sudah kusuk bersila lagi, akan tetapi kali ini dia tidak bersemedhi, namun memasang pendengarannya menikmati alunan lagu yang terhembus keluar dari lubang-lubang suling.
Kakek ini tahu bahwa berturut-turut telah datang sembilan orang sakti yang sebulan yang lalu telah mengunjunginya di Kiam-kok-san. Akan tetapi dia tak peduli, bahkan pura-pura tidak tahu dan masih menikmati alunan suara suling yang terdengar sayup sampai.
Dia seperti orang terpesona dan tenggelam dalam hikmat suara itu, yang membawanya melayang-layang kembali kepada masa mudanya sehingga diam-diam dia menyesali diri sendiri. Sungguh dia harus merasa malu bahwa di ambang kematiannya, karena memang dia sudah mengambil keputusan hendak menyerahkan nyawanya tanpa melawan kepada sembilan orang ini, belum pernah dia melakukan jasa sedikit pun selama hidupnya.
Bahkan sebaliknya ia selalu hidup mengejar kesenangan, bergelimang dalam cinta kasih dengan banyak wanita yang dibalasnya hanya berdasarkan dorongan nafsu birahi. Belum pernah selama hidupnya dia menjatuhkan hati, mencinta seorang wanita dengan murni.
Betapa dia hidup secara berandalan, tidak pernah membedakan antara baik dan buruk, ugal-ugalan, merampas kitab-kitab dan benda-benda pusaka, mendatangi jagoan-jagoan hanya untuk memuaskan nafsunya ingin menang, menyerbu partai-partai persilatan untuk mengalahkan ketua-ketuanya.
Walau pun semenjak dahulu dia tidak pernah mempunyai niat untuk menjahati orang lain, namun wataknya yang ugal-ugalan tanpa dia sadari telah menyakitkan hati banyak orang. Kini datanglah penyesalan dan makin dia perhatikan suara suling yang mengalun merdu itu makin terharulah hatinya.
Perlahan-lahan suara suling itu makin melemah, kemudian terhenti seolah-olah peniupnya sudah merasa bosan dan lelah, seperti juga dia yang sudah merasa bosan untuk hidup lebih lama lagi, sudah lelah untuk berurusan dengan dunia yang lebih banyak deritanya dari pada senangnya.
Setelah suara suling terhenti, Sin-jiu Kiam-ong mengangkat mukanya. Pandang matanya menyapu para pengunjung yang sudah berdiri berjajar di depannya dalam keadaan siap siaga, dengan senjata pada tangan masing-masing karena mereka itu kini datang untuk bertindak, bukan untuk bicara lagi. Semua mata sembilan orang itu ditujukan ke arah Siang-bhok-kiam yang menjadi pusat perhatian dan yang sebenarnya merupakan sebab utama kunjungan mereka.
"Ahh, kalian sudah datang? Nah, aku pun sudah siap. Sekarang aku takkan melawan bila hendak membunuh aku, lakukanlah cepat-cepat. Akan tetapi, karena yang membunuhku berhak memiliki Siang-bhok-kiam maka lebih dulu hendak kujelaskan kegunaan pedang ini." Kakek itu mengambil pedang kayu dari depannya.
Pedang ini terbuat dari kayu yang jarang terdapat di dunia ini, karena kayu itu adalah kayu harum yang terdapat di dekat Puncak Pegunungan Himalaya di dunia barat. Dalam perantauannya Sin-jiu Kiam-ong mendapatkan pedang itu sebagai anugerah dari seorang pertapa India yang sudah mendekati saat terakhir.
Kayu dari sebatang pohon yang mungkin hanya tersisa beberapa batang saja di seluruh puncak Himalaya. Kayu yang sangat harum baunya, dan keras laksana baja. Akan tetapi di samping harum kayu ini juga merupakan obat penolak segala pengaruh racun. Barang beracun apa saja apa bila tersentuh kayu ini seakan-akan terhisap racunnya dan tidak berbahaya lagi.
"Siang-bhok-kiam ini adalah sahabatku selama puluhan tahun," ia berkata sambil menarik napas panjang dan mencium pedang itu dengan ujung hidung. "Bukan hanya merupakan pedang wasiat yang amat keramat, juga pemilik pedang ini akan dapat membuka rahasia tempat simpanan seluruh milikku, mulai dari kitab-kitab pusaka berisi pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi sampai simpanan perhiasan-perhiasan berharga dan senjata-senjata mustika. Betapa pun juga hanya dia yang berjodoh saja agaknya yang akan dapat memiliki semua itu melalui pedang ini. Akan tetapi kalian juga harus ingat baik-baik, karena kalian semua menghendaki pedang ini, maka kurasa siapa pun di antara kalian tidak akan mudah dapat membunuhku sungguh pun aku berjanji tak akan melawan dengan sebuah jari tanganku. Nah, aku sudah siap, siapa mau turun tangan merampas pedang, lakukanlah, aku tidak akan menghalangi!"
Setelah berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong segera menaruh pedang itu kembali ke depan kakinya di atas tanah lalu bersedekap dan memejamkan matanya. Mulutnya tersenyum ikhlas, sama ikhlasnya dengan hatinya yang telah bulat menyambut datangnya maut.
"Sie Cun Hong, aku maafkan dosamu asal kau mau memberikan pedang itu kepadaku!" terdengar teriakan Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu.
Teriakan itu disusul bunyi bergeletar nyaring sekali. Sinar-sinar hitam manyambar karena sembilan ujung cambuk yang memiliki kaitan-kaitan itu telah menyambar ke arah pedang kayu di depan Sin-jiu Kiam-ong.
"Trang-trang-trang...!" Bunga api berpijar dan kesembilan ‘ekor’ cambuk terpental.
"Kalian mau apa?" bentak Kiu-bwe Toanio marah dan mukanya menjadi merah. Matanya mendelik memandang ke arah delapan orang lain yang sudah serentak maju menangkis cambuknya.
"Hemm, bukan kau seorang saja yang membutuhkan pedang Siang-bhok-kiam, Kiu-bwe Toanio, kami pun memerlukannya!" Ucapan ini keluar dari mulut Coa Kiu kakek tokoh Hoa-san-pai dan secepat kilat Coa Kiu dan Coa Bu, kedua Hoa-san Siang-sin-kiam telah menggerakkan pedang mereka menjadi sebuah cahaya panjang dan kuat menuju ke arah Siang-bhok-kiam dengan maksud mendahului dan merampas pedang kayu itu sebelum yang lain sempat bergerak.
"Trang-trang...!" Kembali sinar pedang yang kuat ini terpental akibat ditangkis oleh banyak senjata.
"Ho-ho-ho, Hoa-san Siang-sin-kiam, jangan tergesa-gesa! Pinceng juga butuh…!" Thian Kek Hwesio tokoh Siauw-lim-pai yang berkulit hitam itu mengejek.
Senyum di bibir Sin-jiu Kiam-ong melebar dan kini sembilan orang yang saling pandang itu mengerutkan kening. Baru mereka ketahui apa artinya ucapan Sin-jiu Kiam-ong tadi yang mengatakan bahwa siapa pun di antara mereka takkan mudah membunuh kakek itu biar pun si kakek tidak melawannya. Kiranya kakek itu sudah dapat menduga lebih dulu bahwa di antara sembilan orang ini tentu akan terjadi perebutan!
Sementara itu, di balik sebatang pohon besar bersembunyi Keng Hong. Bocah ini tadinya meniup suling di atas punggung kerbau dan memasuki hutan sambil melanjutkan meniup sulingnya perlahan-lahan. Setelah tiba di tengah hutan, dia terpaksa menghentikan tiupan sulingnya yang tadi dilakukan hanya untuk menentramkan hatinya yang berdebar-debar.
Dia menyelinap di antara pohon-pohon ketika melihat banyak orang berdiri di lapangan terbuka di hutan mawar itu. Sambil menahan nafas dia pun menonton dan mendengarkan seluruh percakapan. Diam-diam timbul rasa suka dan kasihan di hatinya terhadap kakek aneh yang duduk bersila, apa lagi setelah dia mendengar ucapan kakek itu seakan-akan telah menyerahkan nyawanya kepada sembilan orang yang sikapnya mengancam itu.
Dan pada saat yang sama timbullah rasa tidak suka kepada mereka. Dia sudah banyak membaca tentang watak orang-orang budiman, bijaksana dan gagah perkasa, watak para pendekar yang selalu menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kegagahan. Akan tetapi sembilan orang itu hendak mengeroyok seorang kakek tua renta yang sama sekali tidak mau melakukan perlawanan. Alangkah picik dan hina!
Sembilan orang itu kini saling berhadapan dengan pandang mata penuh kemarahan. Tak ada seorang pun di antara mereka mengeluarkan kata-kata, tetapi pandang mata mereka sudah menyatakan perasaan mereka dengan jelas dan seluruh urat syaraf di tubuh sudah menegang, siap menggempur lawan untuk memperebutkan pedang pusaka yang sangat mereka inginkan itu.
Akhirnya Kok Cin Cu, orang termuda dari Kong-thong Ngo-lojin, menghela napas panjang dan berkata, suaranya seperti biasa halus namun penuh wibawa.
"Mencapai cita-cita tinggi tidaklah mudah, mendapatkan Siang-bhok-kiam benda pusaka tentu saja amat sukar. Memang patut ditempuh dengan mempertaruhkan nyawa. Baiklah, mari kita semua membuktikan, siapa di antara kita yang paling tepat dan berjodoh untuk memiliki Siang-bhok-kiam." Setelah berkata demikian, Kok Cin Cu meraba pinggangnya dan…
"Singgg…!" terdengar suara nyaring ketika tosu tua ini melolos sabuknya yang ternyata merupakan sabuk baja yang tipis dan halus.
Kiranya sabuk ini adalah senjata istimewa tosu itu, dimainkan seperti orang memegang sebuah pecut yang tajam. Sabuk ini mengeluarkan suara berdesing dan tampak sinarnya berkelebatan menyilaukan. Sambil memutar sabuk itu di atas kepala, lengan kiri tosu lihai ini mengeluarkan bunyi berkerotokan, terisi oleh Ilmu Ang-liong Jiauw-kang yang agaknya lebih mengerikan dan lihai dari pada sabuk baja itu sendiri!
"Omitohud! Terpaksa kita melanggar pantangan membunuh, Sute!" kata Thian Ti Hwesio yang beralis putih kepada sute-nya sambil memutar tongkat yang dibawanya.
Bukan tongkat sembarangan tongkat, karena tongkat itu adalah sebatang tongkat senjata yang disebut Liong-cu-pang (Tongkat Mustika Naga), tongkat yang ujungnya besar bulat seperti bola baja, dan beratnya tidak akan kurang dari dua ratus kati!
Sute-nya, si tinggi besar berkulit hitam Thian Kek Hwesio juga telah mengeluarkan suara gerengan dan segera dia menggerakkan tangan kanan.
"Wuuuuttt...!" terdengar suara dan angin keras menyambar.
Kiranya dia telah melolos jubah yang dipakainya tadi dan kini jubah itu sudah dia pegang ujungnya. Jangan anggap ringan senjata jubah ini, karena berada di tangan hwesio tinggi besar itu, jubah ini bisa berubah menjadi senjata yang kerasnya melebihi baja, lemasnya melebihi sutera dan tajamnya menandingi pedang!
Keng Hong memandang dengan mata terbelalak dan dada berdebar. Dia melihat betapa kakek tua renta yang duduk bersila itu sama sekali tidak bergerak, masih memejamkan mata akan tetapi senyum di mulutnya jelas mengandung ejekan, seakan-akan kakek itu menahan rasa geli dan memaksa diri tidak tertawa bergelak.
Dia sendiri pun merasa geli dan ingin tertawa menyaksikan tingkah laku sembilan orang itu yang dianggapnya seperti badut-badut tak tahu malu atau seperti segerombolan anjing hendak memperebutkan tulang. Dari tempat dia sembunyi, pedang di depan kakek tua itu memang seperti sepotong tulang saja. Akan tetapi mana mungkin dia bisa tertawa kalau menyaksikan sembilan orang itu kini telah mengeluarkan senjata semua?
Pada lain saat pandang Keng Hong menjadi silau dan kabur, telinganya seperti tuli ketika terdengar suara desing senjata yang hiruk pikuk, matanya melihat sinar-sinar berkelebat. Dia ternganga keheranan dan hampir tidak dapat mempercayai pandang matanya sendiri.
Tubuh sembilan orang-orang tua itu telah lenyap dan yang tampak kini hanya bayangan-bayangan berkelebatan dibungkus bermacam-macam sinar, ada merah, putih, hijau dan kuning. Suaranya juga bising sekali, ada suara meledak-ledak seperti halilintar, suara mendesis seperti ular marah, suara bersuitan seperti angin badai, berkerosokan seperti angin mengamuk dan berdentangan, seperti di situ terdapat banyak pandai besi bekerja!
Di tengah-tengah semua hiruk pikuk dan sinar berkelebatan itu, jelas nampak kakek tua renta masih duduk bersila dengan mulut tersenyum lebar. Pedang kayu itu masih tetap menggeletak mati di depan kakinya.
Pertempuran yang kacau-balau itu amat serunya dan terutama sekali perhatian masing-masing ditujukan untuk mencegah lain orang merampas pedang. Maka, sampai lama tak ada korban yang jatuh, apa lagi karena mereka itu terdiri dari orang-orang yang sudah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silat. Tanpa mereka sadari, mereka itu saling bantu dalam pertempuran kacau-balau itu.
Biar pun kedua matanya dipejamkan, telinga Sin-jiu Kiam-ong dapat menangkap jalannya pertandingan dan hatinya terpingkal-pingkal, akan tetapi juga mata hatinya terbuka lebar. Beginilah watak manusia di seluruh jagat, pikirnya. Pertempuran antara tokoh besar ini mencerminkan keadaan di dunia, mencerminkan watak manusia yang sangat bodoh dan lucu, seolah-olah manusia di dunia ini memainkan peran badut yang menggelikan!
Manusia di dunia ini selalu saling hantam, saling memperebutkan demi pemuasan nafsu pribadi yang mereka sebut cita-cita. Padahal, hakekatnya mereka hanya memperebutkan kedudukan, atau nama, atau harta, atau pemuasan nafsu. Untuk mencapai ‘cita-cita’ ini, mereka tidak segan-segan untuk saling menjatuhkan fitnah, saling menyalahkan, saling mengejek, saling menipu, saling merugikan dan apa bila perlu saling membunuh!
Yang besar melahap yang kecil, yang kecil mencaplok yang lebih kecil lagi sedangkan yang besar dilalap oleh yang lebih besar lagi! Kedudukan, kemuliaan, nama besar, harta benda, benda-benda indah, wanita cantik diperebutkan secara tak tahu malu seolah-olah kesemuanya itu akan mendatangkan bahagia dalam hidup masing-masing.
Padahal, dan hal ini sudah dialami oleh Sin-jiu Kiam-ong selama petualangannya puluhan tahun, semuanya itu kosong belaka. Semuanya itu akan musnah kenikmatannya setelah didapatkannya, bukan kebahagiaan yang didapat, melainkan terlalu sering sekali bahkan mendatangkan kepahitan. Karena yang menang akan mabuk dan diintai mata dan hati si kalah yang penuh iri dan dendam, yang kalah akan mabuk oleh dendam dan penasaran sehingga mencari segala daya upaya untuk menjatuhkan kembali yang menang
!Kakek ini seakan-akan dapat melihat betapa siapa yang akhirnya mendapatkan pedang Siang-bhok-kiam selalu akan dirundung malang, selalu dimusuhi, dikejar-kejar. Ingin dia tertawa kalau memikirkan hal ini!
Tiba-tiba terdengar suara ketawa tergelak-gelak. Suara tawa yang memekakkan telinga, yang membuat Keng Hong tiba-tiba saja roboh berlutut karena kedua kakinya menggigil. Tampak berkelebat tiga bayangan hitam dan pertandingan yang tadinya kacau balau itu tiba-tiba berhenti karena sembilan orang itu terpelanting ke kanan kiri.
Sekarang mereka bersembilan berdiri siap siaga dengan wajah penuh keringat, mata liar mengganas memandang ke arah tiga orang yang mendadak muncul dan yang sekaligus membuat mereka yang sembilan orang tokoh-tokoh kenamaan yang berilmu tinggi itu terpelanting ke kanan kiri.
Keng Hong kini dapat berdiri kembali dan dia pun mengintai, memandang ke arah tiga orang itu. Jantungnya berdebar keras dan mulutnya melongo, matanya terbelalak, hatinya diliputi kengerian. Tentu bukan manusia yang muncul ini, melainkan tiga iblis penghuni hutan.
Belum pernah Keng Hong melihat orang-orang yang memiliki wajah dan tubuh demikian mengerikan. Orang pertama adalah seorang nenek yang rambutnya kemerahan, rambut gimbal yang kasar serta riap-riapan menutupi sebagian mukanya. Muka itu sendiri merah seperti udang direbus, mulutnya menyeringai memperlihatkan gigi yang besar-besar dan panjang-panjang sehingga bibirnya tidak dapat tertutup dan selalu menyeringai.
Pakaiannya dari sutera hitam berkembang merah dengan potongan ketat hingga melekat di kulit tubuhnya, mencetak tubuhnya bagaikan telanjang bulat sehingga tampak betapa sepasang buah dadanya besar-besar seperti buah semangka. Nenek ini tidak memegang senjata, akan tetapi sepuluh buah kuku jari tangannya panjang-panjang dan meruncing seperti sepuluh batang pisau yang hitam kemerahan, amat mengerikan!
Orang ke dua adalah seorang kakek yang usianya sebaya dengan nenek itu, kurang lebih delapan puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar laksana raksasa, tentu sedikitnya ada dua meter, besar dan kulitnya hitam arang penuh bulu. Apa bila tidak pakai pakaian dia tentu lebih patut disebut orang hutan.
Pakaiannya juga dari sutera berwarna berkembang. Oleh karena kulit mukanya juga hitam seperti arang, maka tampaklah biji matanya putih lebar menyeramkan. Kedua telinganya seperti telinga gajah, lebar. Yang mengerikan adalah sepasang tengkorak kecil, agaknya tengkorak anak-anak, yang tergantung pada kedua rantai baja, dua buah tengkorak yang sudah menghitam dan agaknya mengeras seperti besi karena kedua tengkorak itu telah direndam racun sampai puluhan tahun lamanya.
Ada pun orang ke tiga, sungguh pun tidak tinggi besar menyeramkan, akan tetapi cukup mengerikan karena bentuknya yang tidak lumrah. Tubuhnya kecil kate, namun kepalanya besar sekali dan berbentuk lonjong seperti buah labu. Mukanya sempit dengan sepasang mata yang hanya merupakan dua buah garis kecil, sikapnya pendiam dan alim. Tangan kanannya memegang sebatang hudtim (kebutan dewa) yang gagangnya hitam namun bulu kebutannya putih. Kedua lengannya bersedakap dan bibirnya selalu bergerak-gerak seperti orang membaca doa!
Yang tertawa-tawa adalah nenek dan kakek tinggi besar itu. Kini pun kakek tinggi besar masih tertawa sehingga dua buah tengkorak kecil yang tergantung di pinggangnya turut bergerak-gerak dan saling beradu menimbulkan suara seolah-olah dua buah tengkorak itu ikut pula tertawa.
Sembilan orang tokoh kang-ouw, yang tadinya terpelanting ke kanan kiri, sesudah dapat memandang tiga orang ini, tampak terkejut sekali, tercengang dan gentar. Tiga orang manusia iblis ini memang jarang muncul di dunia ramai, namun sebagai tokoh-tokoh kang-ouw kenamaan tentu saja mereka mengenal siapa adanya tiga datuk persilatan, raja-raja dari golongan sesat ini.
Nenek itu bukan lain adalah Ang-bin Kwi-bo (Nenek Iblis Muka Merah) yang seolah-olah merajai kaum sesat pada sepanjang pantai laut timur. Kakek tinggi besar berkulit hitam dengan senjata dua buah tengkorak itu adalah Pak-san Kwi-ong (Raja Setan Gunung Utara) yang merajai kaum sesat di sepanjang tembok besar di utara, bahkan terkenal sekali dan ditakuti oleh bangsa-bangsa Mongol, Mancu dan lain-lain. Orang ketiga yang kate dan bersikap seperti dewa itu dikenal dengan nama julukan Pat-jiu Sian-ong (Raja Dewa Lengan Delapan), karena Pat-jiu Sian-ong ini selalu merantau ke barat dan tidak pernah ada tokoh yang sanggup menandinginya. Inilah tiga orang di antara empat datuk kaum sesat yang pada masa itu merupakan tokoh-tokoh yang tertinggi ilmunya dan yang tersebar merajai empat penjuru.
"Ha-ha-ha!" Pak-san Kwi-ong tertawa mengejek dan menyapu sembilan orang itu dengan pandang matanya. Biji matanya yang putih itu bergerak-gerak lliar ke kanan kiri, sungguh menyeramkan. "Ternyata sembilan tikus ini pun kepingin mendapatkan Siang-bhok-kiam! Ha-ha-ha! Memang benar sekali, sebelum berhak mendapatkan pedang pusaka, harus menjadi pemenang terlebih dulu. Kalian ini tikus-tikus pelbagai golongan, setelah melihat kami bertiga datang, tidak lekas menggelinding pergi, apakah ingin kami turun tangan dan menjadikan kalian sebagai setan-setan tanpa kepala?"
"Kwi-ong, usir saja anjing-anjing itu. Apa bila dibunuh, tentu kelak teman-temannya akan menggonggong, akan membikin repot saja!" kata Ang-bin Kwi-bo sambil menyeringai.
Sembilan orang itu adalah tokoh-tokoh dunia kang-ouw golongan bersih. Meski pun pada saat itu mereka saling bertentangan dalam memperebutkan Siang-bhok-kiam, akan tetapi mereka tetap merasa diri mereka bersih. Kini menghadapi tiga orang tokoh yang menjadi datuk kaum sesat, tentu saja mereka merasa bertemu dengan lawan sehingga otomatis mereka melupakan pertentangan sendiri, di dalam hati sudah bersatu untuk menghadapi tiga lawan yang mereka tahu memiliki kesaktian hebat itu. Namun sebagai tokoh-tokoh besar dunia persilatan, mereka tidak menjadi gentar.
"Bagus! kalau kami tidak salah kira kalian bertiga ini tentulah tiga orang di antara Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding)! Memang, siapa yang paling kuat di antara kami berhak memiliki Siang-bhok-kiam, akan tetapi kalian ini iblis-iblis berwajah manusia tidak masuk hitungan, dan sudah menjadi kewajiban kami semua pendekar golongan bersih untuk membasmi iblis-iblis kaum sesat macam kalian bertiga!"
Terdengar suara ketawa terkekeh melengking tinggi dan Ang-bin Kwi-bo telah menerjang maju menyerang Sin-to Gihiap yang bicara tadi. Pendekar ahli golok yang sudah berusia delapan puluh tahun, sudah banyak pengalamannya bertanding dan pada masa itu sukar dicari tandingannya dalam permainan golok, menjadi kaget bukan main karena nenek itu menyerangnya dengan senjata yang amat luar biasa, yaitu....rambutnya!
Rambut yang gimbal kasar panjang ini bagai ratusan ekor ular serentak menerjangnya, mengeluarkan suara seperti anak panah menyambar dan didahului bau amis seperti ular beracun. Cepat Sin-to Gi-hiap memutar goloknya untuk menjaga diri, namun sebagian dari pada rambut itu menggulung goloknya dan sebagian lagi terus menyambar ke arah lehernya!
Pada saat itu terdengar seruan keras, "Omitohud!" dan kedua orang Siauw-lim-pai yaitu Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio telah menerjang secara berbarengan.
Thian Ti Hwesio menggunakan Liong-cu-pang menghantam kepala nenek itu, sedangkan Thian Kek Hwesio menggerakkan jubahnya menangkis ke arah rambut yang mengancam nyawa Sin-to Gi-hiap! Sambil terkekeh aneh Ang-bin Kwi-bo menarik kembali rambutnya dan melangkah mundur kemudian ia mengulurkan kedua lengan, lengan kiri menyampok Liong-cu-pang sehingga hampir saja terlepas dari pegangan Thian Ti Hwesio, sedangkan lengan kanannya melingkar di depan dada.
Kini sepuluh buah kuku jari tangan nenek itu telah berubah makin menghitam dan jari-jari tangan itu bergerak-gerak aneh, sangat mengerikan. Betapa pun juga, dua orang tokoh Siauw-lim-pai bersama Sin-to Gi-hiap tidak menjadi gentar dan siap-siap mengurungnya.
Pendekar-pendekar tua yang lain tidak tinggal diam. Walau pun tidak ada yang memimpin dan tidak ada komando, mereka sudah menerjang maju. Kiu-bwe Toanio bersama dua orang tokoh Hoa-san-pai telah maju mengurung Pak-san Kwi-ong. Kiu-bwe Toanio lantas menggerak-gerakkan pecut berekor sembilan yang mengeluarkan bunyi ledakan-ledakan kecil, sedangkan kedua orang tokoh Hoa-san-pai itu sudah menyatukan pedang mereka.
Sedangkan sepasang suami isteri piauwsu, yakni Hek-houw Tan Kai Sek dan isterinya, bersama Kok Cin Cu tokoh lihai Kong-thong-pai, telah mengurung Pat-jiu Sian-ong yang tampak tenang-tenang saja. Si kate kepala besar ini hanya mengebut-ngebutkan hudtim di tangannya seperti orang mengusir lalat, namun hudtim yang hanya dikebut-kebutkan perlahan-lahan itu mengeluarkan suara bersiutan seakan-akan datang angin topan yang dahsyat! Suara ini diimbangi oleh suara menderu yang keluar dari rantai yang ujungnya ada sepasang tengkoraknya, yaitu senjata yang kini diayun-ayun oleh Pak-san Kwi-ong.
Keng Hong menonton dengan jantung berdebar-debar. Sungguh keadaan telah berubah amat mengherankan. Sembilan orang yang tadinya saling bertanding dan bayangannya lenyap terganti oleh sinar-sinar berkelebatan, kini bersatu padu menghadapi ketiga orang manusia iblis yang mengerikan. Meski pun mereka itu belum saling serang, akan tetapi keadaan sudah amat menegangkan.
Ketika Keng Hong melirik ke arah kakek tua renta yang duduk bersila, dia melihat betapa Sin-jiu Kiam-ong masih duduk diam tidak bergerak, namun senyum mengejek di bibirnya kini tidak tampak lagi dan kedua mata yang tadinya dipejamkan kini terbuka. Keng Hong terkejut karena sepasang mata kakek tua renta itu mengeluarkan sinar yang berkilat!
Akan tetapi perhatian Keng Hong segera tertarik dengan pertandingan yang telah dimulai. Begitu dia mengalihkan pandangan matanya, dia menjadi pening. Pertandingan sekali ini ternyata lebih hebat dan cepat dari pada tadi. Bayangan-bayangan manusia berkelebat, sukar dia mengenali bayangan siapa, berkelebatan cepat di antara sinar-sinar terang dan gulungan-gulungan uap hitam, kemudian terdengar pula bermacam-macam suara yang menusuk-nusuk telinga, selain itu tercium bau yang amis dan keras memuakkan.
Namun pertandingan itu berjalan sebentar saja. Terdengar kekeh tawa Ang-bin Kwi-bo diseling gelak tawa Pak-san Kwi-ong, disusul oleh suara senjata-senjata patah dan tubuh sembilan orang pengeroyok itu terpelanting lagi ke kanan kiri, akan tetapi sekali ini agak keras, bahkan terbanting ke tanah.....
Komentar